Saturday, August 26, 2017

Seperti Asing di Kampung Halaman sendiri


Bantargebang oh bantargebang,
dirimu beda semenjak aku tinggalkan.
Enam tahun yang lalu saya pindah dan menetap di Indramayu. Sebuah kabupaten yang hampir semuanya adalah hamparan ladang sawah sejauh mata mandang.

Sempat saya tidak menyukainya karena saya merindukanmu, oh bantargebang ..

Tapi setiap saya pulang menjengukmu,
Hati ku sangat sakit, sangat sedih..

Dirimu beda, terhitung saat usiaku 5 tahun dan kini aku berusia 25 tahun.

Bantargebang oh bantargebang,
Dulu setiap pagi saya masih bisa menggoes sepeda roda tiga di jalanan depan rumah, berbarengan dengan sapi yang dipakai untuk membawa bambu. Berteriak memanggil sapi dan mengikutinya dari belakang. Sama seperti saat bocah kampung berkumpul mengikuti ondel-ondel yang keliling kampung.

Saat memulai hari pertama bekerja,
jam 6 pagi pun jalanan sudah macet seperti di jakarta. Setiap menjelang magrib, perempatan jalan dekat rumah macet seperti ada hiburan rakyat.

Jalanan yang semula saya lihat luas dan berbahaya untuk menyebrang, karena kendaraan waktu itu masih cukup langka,
kini mengapa jalanan terlihat kecil
Sempit sekali, dengan bertenggernya para kaki lima, toko toko, warung.
rumah tetangga yang saya kenal mulai bergeser mundur berada di dalam gang, bukan di pinggir jalan lagi.


Ketika sore saya biasa main dibelakang rumah,
kami berkebun, membakar sampah, manjat pohon kersem, ngerujak, main layangan, mengambil sarang burung di atas genteng, makan buah kecapi, main kasti, bulu tangkis.
Tapi, sekarang saya lihat halaman yang biasa menjadi tempat bermain sudah menjadi jalan buntu sekaligus tempat pembuangan sampah tak terurus.

Setiap pekan bapak mengajak memancing di persawaan batas kecamatan Padurenan,
tapi kini yang dilihat persawahan itu sudah menjadi akses jalan perumahan Vida sisanya di biarkan terbengkalai menjadi lahan kosong dan semak belukar, bukan padi.
Setiap jalan yang saya telusuri, yang terlihat hanya pabrik, perumahan, kontrakan, mobil berat, ruko, swalayan, gedung.

Cuacanya panas dan yang paling parah polusi. dimana masker dan helm adalah benda wajib yang harus dipakai saat berkendara di kawasan bantargebang dan sekitarnya.


Apakah aku masih bisa melihat kebon disini?
Oh, ya saya menemukannya!
Tapi itu lahan kosong mirip kebon yang ditumbuhi semak liar, bukan pohon kecapi maupun rambutan. Setiap lahan itu selalu bertuliskan "tanah ini dijual"

Lalu aku teringat suatu hal,

Dulu bapak pun pernah bercerita, ketika ia kecil ia masih bisa melihat elang yang biasa memburu pitik peliharannya. dan saya selalu bertanya tanya "elang asli itu sebesar apa?"
atau suara kereta di Bekasi kota yang masih bisa di dengar jika larut malam.


Bapak andai kau lihat sekarang bantargebangmu,
Bukan elang yang biasa dulu kau lihat di langit. Tapi helikopter dan pesawat yang lalu lalang.
Kau tahu Pesawat yang ku lihat di bantargebang  itu terlihat sangat dekat.



Hai, bantargebang apa kabarmu?
Maafkan aku karena tidak bisa bertahan lama denganmu, 
Maafkan aku karena tidak bisa mempertahankan mu, 

Maafkan pribumi yang menghianatimu karena sudah mulai bosan mengolah tanahmu menjadi persawahan dan lebih memilih menjual nya untuk pabrik asing.. 

Maafkan pribumi yang memilih gaya hidup kekinian dengan menjadikan kebon mereka sebagai kontrakan.. 

Oh, bantargebang kini kau dijajah manusia2 rakus, 

Apa kau merindukan aku, seperti aku merindukanmu?

Kini aku mulai jatuh hati oleh tanah Indramayu, apa kamu marah?

Oh, bantargebang
Bagaimana jika aku melihatmu pada 20 tahun kemudian. Aku tidak yakin aku bisa mengenalimu...

Apakah benar, masa kecil ku yang sangat indah ada disana?



Bella agmia